Senin, 09 Juli 2007

BERANGKAT DARI PERNYATAAN BANG DEDI “NAGABONAR” MIZWAR

Membaca, ngobrol, tidur dan melamun adalah aktivitas yang paling sering dikerjakan orang saat menunggu. Dalam sebuah perjalanan Jakarta-Makassar, saya mencoba memilih aktivitas yang bisa membuat saya enjoy untuk meminimalisir kebosanan. Saya mengambil majalah wisata yang biasa disediakan oleh semua maskapai penerbangan. Dari beberapa artikel yang ada, saya tertarik untuk membaca wawancara dengan artis kawakan Dedi Mizwar yang tak hanya berprofesi sebagai aktor, tetapi sekaligus juga seorang sutradara dan produser. Puluhan film yang telah dibintangi dan berbagi penghargaan telah disandangnya menjadikan ia sebagai orang yang patut diperhitungkan di dunia perfilman.

Sebagai seorang yang bergerak di dunia film, tentunya ia pun lebih banyak tahu tentang perkembangan film hari ini, terutama di Indonesia. Saat ini bang Dedi lebih banyak menggarap film-film religius, sebagai bentuk keresahannya terhadap film-film yang ada . Ada satu pernyataan menarik yang dilontarkan oleh pemeran Nagabonar dalam Nagobanar jadi dua ini di majalah tersebut, bahwa perkembangan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari karya film yang dihasilkan. Sebab film menurutnya sebagai sebuah sarana efektif menyampaikan pesan-pesan moril ke masyarakat. Saya kemudian mengamini pernyataan tersebut. Apalagi film, sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter masyarakat. Begitupula sebaliknya, jika masyarakat memiliki karakter yang lemah maka film yang dihasilkan pun sangat jauh dari pesan-pesan moral yang membangun.

Saya mencoba mengingat-ingat film maupun sinetron Indonesia yang pernah di tayangkan. Memori yang muncul adalah sinetron mistik. Seorang anak kecil misalnya digambarkan berteman dengan seorang peri penolong yang bisa mengabulkan permintaan anak. Ada juga yang menmpilkan ular siluman yang kadangkala berubah menjadi wanita cantik. Sangat tidak masuk akal, bahkan jika dikaitkan dengan hal-hal transcendental dalam agama pun juga tidak bisa nyambung. Dampak dari hal tersebut menurut pengalaman saya, anak-anak menjadi percaya bahwa peri penolong itu ada. Bahkan ekstrimnya, jika anak menemui masalah maka yang akan dimintai pertolongannya adalah peri. Ini justru akan mengarahkan anak untuk memercayai ada kekuatan penolong selain Allah. Ada juga anak yang mencoba menjatuhkan diri dari ketinggian, karena sering menyaksikan film atau sinetron yang menggambarkan manusia memiliki sayap. Anak-anak diajak untuk berpikir tidak rasional.

Itu baru film mistik saja, belum lagi film-film horror dengan berbagai judul yang mencoba meng-hororkan sebuah benda atau keadaan. Misal saja Bangku kosong, Hantu Jeruk Perut, Terowongan Casablanca, dan bangsal 13. Belum lagi sinetron-sinetron yang tayang di televisi. Dampaknya lebih besar trhadap anak, misalnya mereka menjadi anak yang penakut.

Cerita cinta dan gemerlap dunia remaja juga dieksploitasi dalam beberapa film dan sinetron. Seorang ibu guru konseling mengutarakan kekhawatirannya, dengan penampilan gaya anak SMU dangan seragam sekolah di luar batas kewajaran. Kadang pula dikisahkan Sikap guru yang ditampilkan krang berwibawa dan selalu menjadi bahan ledekan siswa. Tentunya ini akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter siswa dan penghormatan terhadap guru. Kisah-kisah remaja kurang memberikan pesan moril tetapi lebih mengksploitasi dunia remaja yang senang hura-hura, memadu cinta dan tak sedikit film yang menjadikan pemeran utamanya sebagai sosok remaja yang hamil di luar nikah. Seorang produser pernah berkomentar jika itulah realitas remaja yang coba dikemas dan ditampilkan. Pertanyaannya, lalu apa selanjutnya?, pesan moril apa yang terbangun di masyarakat. Justru dampaknya, masyarakat semakin mentolerir perilaku remaja yang kurang baik tersebut. Misalnya saja, bagaimana perilaku hamil di luar nikah oleh masyarakat menjadi tidak tabu lagi.Yang penting menikah sebelum anak keburu lahir.

Yah, itulah sedikit gambaran tentang realitas dunia perfilman dan sinetron saat ini. Karya yang dihasilkan belum cukup mampu membangun budaya bangsa berkarakter. Namun untuk mengubah keadaan ini, tak cukup dengan counter wacana. Karya harus dibalas karya. Risau terhadap karya yang ada saat ini, maka jawabannya adalah menciptakan karya tanding. Siapa yang akan menciptakana karya tanding, kalau bukan anak muda Indonesia, dan tentunya mereka yang punya potensi dan minat di bidan per-film-an. namun yang lebih penting adalah mereka yang berpotensi, punya minat dan juga punya visi.