Jumat, 09 Mei 2008

Menanti Kereta


Matahari siang kala itu cukup terik, menunggu kereta di stasiun Kalibata jadi membosankan. Di kiri kanan, tampak wajah-wajah lesu menunggu kereta. Kalau bisa menginterporetasikan, barangkali seperti ini ungkapan yang tak terverbalkan dalam hati mereka “ Pfhuufff…udah lapar, debu sana sini, panas, sesak, kereta lama, capeeeee dehhh”. Disampingku seorang bapak paruh baya membuka kantongan berisi gorengan yang baru saja dibelinya. Dia menawari orang-orang di sampingnya untuk turut mencicipi buah tangannya itu, termasuk kepadaku yang juga berada di sebelahnya. “Tidak, terima kasih Pak” jawabku.
Tidak berhenti di situ, Bapak tadi membuka perbincangan. “ Kerja di mana dik”. Untuk orang yang seprofesi dengan ku biasanya akan menjawab “ masih nganggur Pak”. Bekerja sebagai aktivis social, organisatoris pada lembaga nirlaba seringkali tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Di mata kebanyakan orang yang dimaksud dengan pekerjaan sebagai sebuah profesi ketika punya kantor tempat bekerja, dapat gaji yang rutin setiap bulan (bahkan dengan jumlah yang tetap), berpakaian rapi (berdasi kalau perlu) dan punya atasan. Lalu kujawab “ pekerja social Pak”.
Obrolan belum berhenti, “cita-citamu apa dik?”. “ politisi!” , ups…jawaban itu termuntahkan begitu saja. Apa benar saya mau jadi politisi?, setahuku saya juga mau mendirikan sekolah, jadi advokat, diplomat, jadi pedagang tomat (punya perkebunan tomat maksudnya), sampe jadi penulis sekenario. Tapi kok kenapa satu kata itu saja yang keluar. Ah..tak apalah, sebab kalau kusebut semuanya, bisa bingung bapak itu. Sama seperti kebingungan Bapak di kampung atau teman-temanku di asrama. “ kamu itu ga focus, mau jadi apa sih???”.
Fokus, kata mereka saya harus fokus. Apakah fokus itu bisa diinterpretasikan cukup dengan hanya memiliki satu cita-cita saja sudah cukup?. Bukankah ramai dibicarakan soal kecerdasan ganda sebagai salah satu ciri anak-anak yang lahir pada kurun waktu 10 tahun ini dengan mengistilahkannya sebagai Generasi Platinum. Bagiku sederhana saja, mengutip pernyataan AA Gym “jangan takut bercita-cita”. Kalaupun tidak tercapai setidaknya kita puas telah pernah membayangkan sebelumnya. Lebih baik toh punya banyak cita-cita, daripada tak punya cita-cita sama sekali. Soal tercapai atau tidak urusan belakang. Bukankah juga THE SECRET menegaskan bahwa sesuatu akan menjadi kenyataan bilamana keinginan itu tertanam kuat dalam pikiran kita, intinya Pikiran menjadi kenyataan karena pikiran akan meneraik pikiran itu sendiri sehingga akan mempengaruhi seluruh alam raya ini untuk mengantarkan kita pada apa yang kita pikirkan.
Oke, kembali pada Bapak tadi. Ia lalu tertarik mengeksplorasi cita-citau kebih jauh. “Kau manu jadi politisi?”. “iya Pak, tapi intinya saya ingin menjadi bermanfaat untuk orang banyak. Jadi apapun itu pada akhirnya”. “ Iya, tanda kesuksesan itu telah ada”. Saya tak tahu maksud Bapak itu. “Kau harus jadi orang besar!, Jika saja saya tinggal di sebalah asramamu, ingin kuberikan semangat yang akan membangun jiwamu setiap hari”. “Sebab aku ingin kau menjadi orang besar!”. Saya hanya senyum saja, dan berterima kasih atas niatnya yang tulus itu. Bagiku persoalan menjadi orang besar, tak hanya pada profesi atau jabatan yang kita pangku. Akan tetapi seberapa mulia kita di mata Allah. Seberapa besar kemanfaatan kita untuk orang lain. Seberapa besar kontribusi kita untuk memakmurkan bumi ini, bukan sebaliknya menjadi beban bagi bumi. Karena kita tak mampu berbuat apa-apa. Bapak itu menyambung pembicaraan “ Tapi kau harus berani dan menjadi perekat dalam perpecahan yang terjadi di tengah ummat ini” . tiba-tiba terdapat gurat sedih di wajah Bapak itu. Wajar saja, saat ini ummat atas nama kepemahaman agama menjadi terkotak-kotakkan dalam kelompok masing-masing. Menjadi merasa paling benar. Akhirnya menjadi autis, sibuk dengan diri sendiri. Tidak peduli bahwa persatuan ummat itu PENTING!. Perkara berikut soal keberanian. Kata Bapak itu “kamu harus berani, sebab hanya keberanian yang mampu membuat kita menyuarakan kebenaran . Dengan keneranianlah kamu dapat melakukan itu semua”. Pernyataan bapak di stasiun itu kurang lebih sama dalam sambutan yang disampaikan oleh Pak Hidayat pada Peringatan HARBA ke-61 di mahkamah konstitusi. Bahwa kita harus berani. Hanya orang-orang yang memiliki keberanianlah yang bisa melakukan perubahan. Beranilah, mengungkapkan kebenaran, beranilah mengambil tindakan, beranilah dalam menyampaikan ide. Menurutku, hanya orang berani yang bisa memerdekakan dirinya. Perpisahan dengan Bapak itu berakhir di kereta, dengan sebuah kalimat perpisahan, “ kutunggu kabarmu, tapi bukan darimu”. Maksudnya?