Agama kita mengajarkan berbagai macam kebajikan. Dalam rentang waktu yang mengiringi usia kita dan di bawah kolong langit tempat memijak di bumi, tidak ada kesempatan yang mustahil bagi kita untuk berbuat kebajikan. Apalagi, fungsi kekhalifahan manusia (QS Albaqarah [2]: 30) memungkinkan sifat-sifat kebajikan Allah (asma’ul husna) mendekam dalam pribadi orang perorang.
Kebajikan memiliki arti yang luas. Secara khusus, Allah mengungkapkan perinciannya, “...sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan...” (QS Albaqarah [2]: 177)
Dari sederet kebajikan-kebajikan itu, ada kebajikan yang bisa mengantarkan seseorang pada sebuah kebajikan yang sempurna. Kebajikan yang sempurna itu adalah menafkahkan sebagian dari apa yang kita cintai. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92)
Namun, sebagian besar kita sesungguhnya belum bisa merengkuh kebajikan yang sempurna itu. Apa pasal? Tidak jarang, kita menafkahkan sebagian dari apa yang kita miliki namun yang kita nafkahkan itu tidak benar-benar sesuatu yang kita cintai. Kita berinfak untuk masjid atau lembaga pendidikan agama, menyumbangkan dana untuk korban bencana, menyisihkan rizki untuk tetangga dan menghibahkan barang yang masih bermanfaat untuk orang lain belum bisa dikata telah menggenggam kebajikan yang sempurna. Karena bisa jadi, harta yang dinafkahkan itu hanya bagian kecil saja dan, mungkin, tidak berarti apa-apa.
Suatu ketika, seorang tamu datang ke rumah Abu Dzar al-Ghifari. Dia berkata kepada tamu itu bahwa saat itu ia sedang sibuk. Dia memiliki beberapa ekor unta dan tamu itu diminta mengambil unta yang terbaik untuk dibawa pulang. Lantas tamu itu kembali dengan seekor unta yang kurus dan Abu Dzar berkata bahwa tamu itu tidak jujur kepadanya tentang unta itu. Tamu itu berkata bahwa dirinya menemukan unta yang terbaik di antara yang lain, tapi dia berpikir, barangkali suatu saat Abu Dzar akan membutuhkannya. Lalu Abu Dzar berkata, “Sesungguhnya hari ketika aku sangat membutuhkannya adalah hari saat aku dimasukkan ke liang kuburku, karena Allah berfirman, ‘kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna kecuali kalian menafkahkan dari apa yang kalian cintai.’”
Jauh-jauh sebelumnya, dalam risalah kenabian, kita mengenal sosok Ibrahim a.s. yang merelakan Ismail, anak satu-satunya, disembelih demi menjalankan perintah Allah. Walau akhirnya perintah itu dianulir dan diganti dengan menyembelih seekor kambing.
Pada akhirinya, segala yang kita miliki hanya milik Allah semata. Kecintaan atas apa yang kita miliki hendaklah juga didasari oleh kecintaan pada Sang Pemilik. Karena, apa yang kita cintai dan menjadi milik kita pada hakekatnya bukanlah milik kita. Biarlah kecintaan atas apa yang kita miliki kita gunakan sebagai wujud kecintaan kita pada-Nya. Semoga kita masuk dalam kaum terbaik yang dijanjikan oleh Allah karena telah merengkuh kebajikan yang sempurna. “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya...” (QS. Almaidah [5]: 54)
Jakarta, 7 Mei 2007
Oleh Abu Bakar Fahmi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar