Jumat, 21 November 2008

SESEKALI BERBICARA CINTA

Kemarin nemuin sebuah buku mungil di asrama, sampulnya berwarna biru. Judul tertera, RUMAHKU ADALAH SURGAKU (Sebuah Catatan untuk Direnungkan). Saya membuka isinya, bagus juga. Ada beberapa kumpulan puisi di dalamnya. Mengutip beberapa puisi, mencoba merefleksikan makna cinta dari sang pujangga..suit..suit..
sesekali berbicara cinta, biar tak gersang (mengutip kritik salah seorang teman)

DALAM DOAKU
Sapardi Djoko Damono
Dalam doa malamku
kau menjelma denyut jantungku
yang dengan sabar
bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya
yang setia mengusut rahasia demi rahasia
yang tak putus putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
aku mencintaimu
itu sebabnya aku tak pernah selesai
mendoakan keselamatanmu
HUJAN BULAN JUNI
Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan di bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohonan bunga itu
CINTA DAN PIKIRAN
Jalaluddin Rumi
Pikiran tak berdaya meenggambarkan cinta
Hanya cinta sendiri yang mampu
menyampaikan kebenaran cinta dan menjadi pecinta
Jalan para Nabi kita adalah jalan kebenaran
Bila engkau ingin hidup, matilah dalam CINTA
Matilah dalam CINTA bila engaku ingin terus hidup

Kamis, 20 November 2008

KATA DALAM DIAM


Perempuan itu
Tertunduk lesu di beranda rumah
Menyapih bayi kurus yang tak bisa dibelikan susu
Sesekali berkidung lirih
Dengan tatap kosong menerawang
Menembus malam sunyi berbadai

Tak hendak ia meronta
Atau sekadar menggugat
Cukup kira baginya meratap
Membendung rindu bercampur amarah

Kristal air mata,bertabur tak berbendung
Tumpah lalu menggenang
Menghanyutkan asa dalam keterpaksaan

Ia bukanlah perempuan terdidik
yang mampu mengeja angka dan huruf
ia juga bukan perempuan berkelas
yang manja dalam buaian fasiltas

ke manakah ia?
Apa salahku ?
Oh..barangkali aku ?
Memang diriku….
Lahir setumpuk geram sesal
Salahkan diri

Hanya itu bisa dilakukannya
Ya hanya itu…

Ia pasrah
Dalam rindu bercampur amarah
Menunggu nasib menyapa kembali
Oh..ia pasrah
Menunggunya kembali


Mentra 58, 20 November 2008
Suatu siang

Senin, 13 Oktober 2008

SENDIRI MENYAPA

Kebumen, 18-8-2008
oleh: Nur Amelia

Berjalan sendiri menapaki malam
gelap sesaat lalu temaram
adakah diri masih tangguh telusuri liku jalan
kala semua pergi meninggalkan

Bila kusebut ini perjuangan
apakah ia memang menyakitkan
dan ...
hanya derita yang terlahirkan

Pun
jika ini disebut pengorbanan
apakah harus semua tergadaikan

ah...atau ini kah cobaan
yang seharunya menuntut kesabaran

jika kiranya ada penawaran
cukup satu permintaan
ajari aku makna kehidupan

Kelak kan ada perhitungan
izinkan aku tidur dalam ketenangan
saat itu tak ada ruang untuk kebohongan
apalagi penipuan

maka kini hanya ada keinginan
tuk lakukan pengabdian

dekap aku dalam kasihMu yaa Rahman
agar diri ini terbuai dalam keikhlasan

Selasa, 30 September 2008

HAPPY iED FitRi

Sebulan bermetamorfosis dalam momentum Ramadhan, tak terasa waktu mengantar di penghujung, beduk dan takbir sebagai penanda, iedul fitri telah tiba, hore..hore...hatiku gembira (lho kok jadi mirip lagunya Tasya) :)
untuk semua sahabat, kerabat, saudara,tetangga,teman,mitra dan siapapun yang telah menjadi bagian dalam setiap episode hidupku..dengan kerendahan hati izinkan saya mengucapkan

SELAMAT HARI RAYA IEDUL FITRIN 1429 HIJRIAH
TAQABBALALLHU MINNA WA MINKUM

MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN

Senin, 28 Juli 2008


Sudah hampir dua pekan ini saya mengalami batuk, influenza, demam disertai sakit kepala. Sejak pulang dari Muktamar di Pontianak 16-12 Juli 2008, beberapa teman-teman aktivis PB PII juga mengalami kondisi serupa. Sakit, tepatnya satu kata ini mewakili kondisi kami. Saya pribadi cukup tersiksa dengan kondisi ini, mengingat masih banyak tugas dan kerjaan yang harus segera diselesaikan. Salah satunya menyusun struktur kepengurusan Korpus Korps PII Wati 2008-2010, yang cukup menyita energi.

Di Darut Tauhid (AA Gym mendengar suara batuk bersahut-sahutan), lantas meminta jamaah shalat maghrib mendo'akan kami yang sakit. Saya cukup tersentuh, dan memiliki semangat kembali untuk segera sembuh. Sakit, oleh seorang teman pernah mengingatkan, bahwa sakit-nya seorang aktivis adalah "peringatan" untuk segera beristirahat. Banyak diantara aktivis, seringkali melalaikan kondisi fisik dengan gaya hidup yang tidak sehat (pola makan tidak teratur, tidur hingga larut malam karena keasikan berdiskusi, malas berolahraga dll). Padahal, raga atau jasadiyah manusia adalah juga amanah yang dititip Allah untuk senantiasa dijaga. Saya kembali bersedih, apakah saya sendiri, telah cukup menjaga amanah tersebut.

Tidak jarang, banyak diantara aktivis yang diserang berbagai penyakit hingga berujung maut. Kita memang seringkali melalaikan kesehatan fisik. Apakah ini sebagai implikasi kita terlalu banyak memikirkan masalah yang terjadi di negeri ini atau di dunia ini? ataukah rasionalisasi tadi hanya sekadar apoloji atas ketidaksanggupan kita untuk memulai pola hidup sehat. Yah, sudah saatnya kita memulai mencoba pola hidup sehat. Kita masih muda, masih panjang waktu yang harus kita lalui. masih banyak tantangan yang harus kita rintangi dan masih lah lagi banyak persoalan yang harus kita selesaikan. Sebab perjuangan tidak hanya untuk hari ini.
Perihal sakit, seorang teman juga pernah mengingatkan.

"Tidak ada suatu apa pun yang menimpa seorang mukmin, walau duri sekalipun kecuali Allah menuliskannya sebagai kebaikan atau dihapusnya kesalahan."(HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Tidaklah dari seorang muslim yang tertimpa penyakit, sakit, atau yang semisalnya, kecuali Allah SWT merontokkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana rontoknya pohon akan daun-daunnya."(HR. Bukhari)


Teman-teman Komunitas Menteng Raya 58 yang sedang sakit, tetaplah sabar dan sama-sama berikhtiar untuk segera SEMBUH





Jumat, 09 Mei 2008

Menanti Kereta


Matahari siang kala itu cukup terik, menunggu kereta di stasiun Kalibata jadi membosankan. Di kiri kanan, tampak wajah-wajah lesu menunggu kereta. Kalau bisa menginterporetasikan, barangkali seperti ini ungkapan yang tak terverbalkan dalam hati mereka “ Pfhuufff…udah lapar, debu sana sini, panas, sesak, kereta lama, capeeeee dehhh”. Disampingku seorang bapak paruh baya membuka kantongan berisi gorengan yang baru saja dibelinya. Dia menawari orang-orang di sampingnya untuk turut mencicipi buah tangannya itu, termasuk kepadaku yang juga berada di sebelahnya. “Tidak, terima kasih Pak” jawabku.
Tidak berhenti di situ, Bapak tadi membuka perbincangan. “ Kerja di mana dik”. Untuk orang yang seprofesi dengan ku biasanya akan menjawab “ masih nganggur Pak”. Bekerja sebagai aktivis social, organisatoris pada lembaga nirlaba seringkali tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan. Di mata kebanyakan orang yang dimaksud dengan pekerjaan sebagai sebuah profesi ketika punya kantor tempat bekerja, dapat gaji yang rutin setiap bulan (bahkan dengan jumlah yang tetap), berpakaian rapi (berdasi kalau perlu) dan punya atasan. Lalu kujawab “ pekerja social Pak”.
Obrolan belum berhenti, “cita-citamu apa dik?”. “ politisi!” , ups…jawaban itu termuntahkan begitu saja. Apa benar saya mau jadi politisi?, setahuku saya juga mau mendirikan sekolah, jadi advokat, diplomat, jadi pedagang tomat (punya perkebunan tomat maksudnya), sampe jadi penulis sekenario. Tapi kok kenapa satu kata itu saja yang keluar. Ah..tak apalah, sebab kalau kusebut semuanya, bisa bingung bapak itu. Sama seperti kebingungan Bapak di kampung atau teman-temanku di asrama. “ kamu itu ga focus, mau jadi apa sih???”.
Fokus, kata mereka saya harus fokus. Apakah fokus itu bisa diinterpretasikan cukup dengan hanya memiliki satu cita-cita saja sudah cukup?. Bukankah ramai dibicarakan soal kecerdasan ganda sebagai salah satu ciri anak-anak yang lahir pada kurun waktu 10 tahun ini dengan mengistilahkannya sebagai Generasi Platinum. Bagiku sederhana saja, mengutip pernyataan AA Gym “jangan takut bercita-cita”. Kalaupun tidak tercapai setidaknya kita puas telah pernah membayangkan sebelumnya. Lebih baik toh punya banyak cita-cita, daripada tak punya cita-cita sama sekali. Soal tercapai atau tidak urusan belakang. Bukankah juga THE SECRET menegaskan bahwa sesuatu akan menjadi kenyataan bilamana keinginan itu tertanam kuat dalam pikiran kita, intinya Pikiran menjadi kenyataan karena pikiran akan meneraik pikiran itu sendiri sehingga akan mempengaruhi seluruh alam raya ini untuk mengantarkan kita pada apa yang kita pikirkan.
Oke, kembali pada Bapak tadi. Ia lalu tertarik mengeksplorasi cita-citau kebih jauh. “Kau manu jadi politisi?”. “iya Pak, tapi intinya saya ingin menjadi bermanfaat untuk orang banyak. Jadi apapun itu pada akhirnya”. “ Iya, tanda kesuksesan itu telah ada”. Saya tak tahu maksud Bapak itu. “Kau harus jadi orang besar!, Jika saja saya tinggal di sebalah asramamu, ingin kuberikan semangat yang akan membangun jiwamu setiap hari”. “Sebab aku ingin kau menjadi orang besar!”. Saya hanya senyum saja, dan berterima kasih atas niatnya yang tulus itu. Bagiku persoalan menjadi orang besar, tak hanya pada profesi atau jabatan yang kita pangku. Akan tetapi seberapa mulia kita di mata Allah. Seberapa besar kemanfaatan kita untuk orang lain. Seberapa besar kontribusi kita untuk memakmurkan bumi ini, bukan sebaliknya menjadi beban bagi bumi. Karena kita tak mampu berbuat apa-apa. Bapak itu menyambung pembicaraan “ Tapi kau harus berani dan menjadi perekat dalam perpecahan yang terjadi di tengah ummat ini” . tiba-tiba terdapat gurat sedih di wajah Bapak itu. Wajar saja, saat ini ummat atas nama kepemahaman agama menjadi terkotak-kotakkan dalam kelompok masing-masing. Menjadi merasa paling benar. Akhirnya menjadi autis, sibuk dengan diri sendiri. Tidak peduli bahwa persatuan ummat itu PENTING!. Perkara berikut soal keberanian. Kata Bapak itu “kamu harus berani, sebab hanya keberanian yang mampu membuat kita menyuarakan kebenaran . Dengan keneranianlah kamu dapat melakukan itu semua”. Pernyataan bapak di stasiun itu kurang lebih sama dalam sambutan yang disampaikan oleh Pak Hidayat pada Peringatan HARBA ke-61 di mahkamah konstitusi. Bahwa kita harus berani. Hanya orang-orang yang memiliki keberanianlah yang bisa melakukan perubahan. Beranilah, mengungkapkan kebenaran, beranilah mengambil tindakan, beranilah dalam menyampaikan ide. Menurutku, hanya orang berani yang bisa memerdekakan dirinya. Perpisahan dengan Bapak itu berakhir di kereta, dengan sebuah kalimat perpisahan, “ kutunggu kabarmu, tapi bukan darimu”. Maksudnya?

Rabu, 16 April 2008

Menulis (lagi): Oleh-oleh dari "Tuhan Tidak Tidur"

Banyak tokoh yang hadir, mulai dari Rieke D. Pitaloka, Budiman Sudjatmiko, Ratna Sarumpaet, Rosihan Anwar, Hariman Siregar 'malari' , Moerdiono, sampai Sri Sultan HB, dan yang lainnya. Namun bukan itu yang hendak saya ceritakan dalam tulisan ini. Undangan launching buku "Tuhan Tidak Tidur" karya Soekardi Rinakit yang disampaikan oleh mas Tom (Utomo Dananjaya) setidaknya menjadi satu kesyukuran buatku dan juga seorang teman yang memiliki profesi sebagai aktivis seminar (bukan maksud memberi label baru). Forum seperti ini, selalu saja melahirkan satu tuntutan baru. Kata demi kata yang termuntahkan sebagai testimoni tidak hanya berefek bagi penulis. Tapi juga bagiku tentunya, meski secara tidak langsung. Simak testimoni beberapa di antara mereka :
"... Dengan buku ini mudah-mudahan kita bisa berubah...sebab kitalah agen perubah itu.." (Miing "Bagito" Gumelar)
"Moga kaki, tangan dan ide kita tidak digemboki..dan Tuhan Tidak tidur..." (Rieke D.Pitaloka)
"Bukan saatnya kita bergurau, saya siap jadi presiden. Tapi masalahnya saya tidak berpartai dan tidak punya uang" (Ratna Sarumpaet)
"kapan Tuhan membangunkan orang yang tertidur atas apa yang terjadi di Indonesia" (paini Hadi)
"Buku ini akan menjadi inspirasi bagi orang yang membutuhkan inspirasi itu, bagi orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka "Tuhan Tidak Tidur"akan menjadi inspirasi untuk terus mengutuk terhadap apa yang terjadi di negeri ini. Sementara bagi orang yang memiliki kekuasaan, maka buku ini akan menjadi saksi atas apa yang ia perbuat.." (Budiman Sudjatmiko)
" Apakah anda pesimis atau optimis?, tapi saya memiliki tekad..." (Rosihan Anwar)
Kurang lebih begitulah beberapa komentar beberapa tokoh/public figure dalam testimoni launching buku di Four Season hotel tadi..
Sekali lagi, testimoni tadi tidak hanya berefek bagi penulis. tapi bagiku juga. Ada semangat yang sempat terkomunikasikan bersama temanku tadi ketika melangkahkan kaki menuju luar gedung acara. Ada semangat utnuk kemudian berbuat, melahirkan karya. Menulis!! seabgai salah satu jawaban. Menulis menjadi tuntutan yang harus segera ditunaikan. Menulis menjadi sebuah harapan bagi kami untuk menggulirkan ide. Menulis dengan idealisme tentunya. Komentar-komentar (terutama yang diungkapkan bagi penulis sendiri: bahwa masa depan indonesia tergantung bagaimana pemimpinnya, tergantung bagaimana generasi saaat ini mampu membaca kondisi hari ini.. dan Tuhan Tidak Tidur.."
Sebagai anak muda yang hadir dalam forum itu tuntutan utnuk berbuat, berkarya, semakin mendesak untuk segera teraktualisasikan. bukan karena selama ini belum ada karya. tapi berbuat lebih untuk bangsa ini.