Rabu, 23 Mei 2007

P A N A S

Menyisiri Jakarta di siang hari begitu panas (ya iyalah, namanya juga siang, kecuali kalo lagi mendung atau hujan). Pfuhhh…keringat sudah segede biji jagung (kenapa coba harus segede jagung bukan segede beras, segede biji papaya atau yang lainnya? ). Pokoknya, siang ini begitu panas!

PANAS!, otak yang ada di dalam kepalaku memilih kata dengan 5 huruf itu. Lalu memainkannya dalam pola pikir radial. Hingga muncul beberapa kata baru yang ditarik dari kata panas tadi. Matahari, Setrika, Kompor, dan…..Kuah Coto…
Lintasan kata tadi, muncul karena bisa jadi saya lagi memikirkan sesuatu hal yang berkaitan dengan kata-kata kunci di atas. Misalnya saja kompor, hari ini saya lagi piket di asrama artinya masak lagi. Trus, Setrika…ya karena pakaian di loker menumpuk belum di sterika (hehehehe). Lalu kuah coto?? Nah lho ini maksudnya apa? Emm….rindu makassar oiiii.

Kata kunci kuah Coto tadi kembali dimainkan oleh otakku secara radial. Dari kata itu, muncul kata baru. Kantin 2 Unhas. Masih saja otak ini bermain dengan kata yang baru saja muncul. Kata berikut yang dihadirkan adalah Fakultas Hukum Unhas. Pfhhuuuhhh…….Ia belum letih, masih terus bermain dengan kata kunci berikutnya hingga berhenti sejenak di satu titik “ SKRIPSI”!

Jadi ingat skripsi yang masih bertahan di Bab III setelah seminar proposal di bulan April kemarin. Seharusnya saat ini sudah masuk ke tahap penelitian untuk selanjutnya di turunkan dalam Bab Pembahasan . Tapi…..penelitian belum juga selesai. Adakah masalah? Atau tak adakah waktu dan kesempatan untuk mengerjakannya??? Sibuk? Atau memang malas?

Kalau soal waktu, kesibukan dan kesempatan sebenarnya tak bisa menjadi alasan kuat untuk disalahkan. Waktu dan kesempatan cukuplah tersedia sebenarnya. Kadangkala, kita memang sering mencari alasan untuk membenarkan kemalasan kita. Atau mengkambinghitamkan aktivitas yang satu, sebagai alasan tertundanya aktivitas yang lain. Dengan kata berbeda, manejemen waktu yang belum tertata. Akhirnya ada yang harus dikorbankan.

Saya kemudian teringat pada sebuah pertemuan di atas angkutan umum alias pete’-pete’ ketika di Makassar bulan April lalu. Seorang ibu paruh baya, yang duduk tepat di sampingku. Awalnya, tak ada yang berkesan. Seperti biasanya, kebanyakan penumpang saling acuh karena tak saling mengenal (ada juga yag kadang berpura-pura acuh meski sebenarnya kenal). Perkenalan diawali, ketika ibu tadi mengomentari soal anak jalanan di kilo empat Makassar. Saya tertarik untuk melanjutkan komentar ibu berjilbab yang dari karakteristik wajahnya bahwa ia orang yang cukup terbuka dan ramah. Perkenalan berlanjut. Walah…ternyata kami pernah se-meja dalam sebuah seminar kepenulisan. Ibu itu moderator dan saya notulennya. Peristiwa itu setahun yang lalu. Ibu tadi lalu mengeluarkan sebuah buku yang akan dibedah sesaat lagi di salah satu sekolah siang itu. Ibu tadi lalu betanya, “dek, kamu sudah pernah menulis buku?” . tersipu malu saya menjawabnya, “belum bu”. Bagaimana tidak, seorang ibu rumah tangga, dan juga memiliki aktivitas di luar rumah sanggup menghasilkan sebuah buku. Sementara saya, yang masih muda, belum mengurus tetek-bengek rumah tangga, hingga saat ini belum menghasilkan sebuah karya buku. Meski sebelumnya beberapa karya ilmiah utntuk tujuan kompetisi telah mampu kuhasilkan. TApi tetap saja, saya belum punya karya buku yang terpublikasikan. Buku, menurutku sebuah sarana aktualisasi diri, mengekspresikan buah pikiran sekaligus sarana yang cukup efektif mentransformasikan nilai pada orang lain. Dan ibu tadi, dengan segenap aktivitasnya telah mampu melakukan itu melalui sebuah karya buku.

Kenyataan lain yang semakin memacu motivasi, ketika melihat seorang ibu, yang memiliki 11 putra-putri, dengan aktivitas padat mengurus organisasi, yayasan, dan menjadi pembicara pada berbagai seminar, masih memiliki semangat luar biasa untuk menyelesaikan tugas akhir di salah satu perguruan tinggi.

Dua contoh di atas hanya mewakili sedikit dari banyak kisah orang-orang yang tetap mampu berkarya di tengah kepadatan aktivitas. Namun seringkali, kita merasa menjadi orang yang paling sibuk sedunia dan berhenti berkarya apalagi berprestasi. Seperti pernyataan beberapa orang yang kadang kutemui
- Ga’ ah lagi sibuk
- Kasi aja kesempatan buat orang yang tak punya aktivitas
- Entar siapa yang mengurusi organisasi?
- Masih ada kerjaan nih
- Skripsi masih bab niat, maklum aktivis
- Dan alasan lainnya

Kita seringkali membuat batasan-batasan, bahwa kita tak bisa melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan (bukan berarti saya menafikan bahwa fokus itu penting). Akan tetapi terkadang kita lupa jikau banyak hal yang sebenarnya dapat kita lakukan. Hanya saja, masih dikontrol oleh waktu dan memenjarakan diri pada keengganan untuk berbuat lebih banyak. Saya lalu menarik napas panjang, saatnya berbuat lebih banyak, mumpung masih muda dan masih hidup.

Tidak ada komentar: